Kamis, 06 Agustus 2009
Sistem Presentil Perbaiki Kredibilitas Guru
"Nilai mereka bagus-bagus dan saya yakin sekali beberapa tahun ke depan guru benar-benar berkualitas. Apalagi dengan sistem penilaian presentil, hanya mereka yang qualified yang lolos. Selain itu, berdasarkan hasil pengumuman seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) 2009 diketahui, nilai minimal calon mahasiswa yang diterima di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) meningkat," ujarnya.
Menurut dia, tahun ini nilai rata-rata minimal yang bisa diterima di LPTK mencapai angka 85. "Data yang ada menunjukkan demikian. Nilai calon mahasiswa untuk pendidikan guru meningkat dan ini hal yang positif karena suatu saat nanti guru-guru di Indonesia akan lebih baik lagi," ungkapnya
Ketua Panitia Lokal SNMPTN 2009 Budi Jatmiko menjelaskan, minat calon yang mendaftar di LPTK tahun ini meningkat tajam. Setidaknya, ada seribuan peminat di Surabaya yang mencoba menempuh SNMPTN untuk bisa menempati bangku di beberapa fakultas kependidikan.
"Peminat di Unesa (Universitas Negeri Surabaya) tahun ini meningkat antara 9% hingga 10%," ujar Budi. Berdasarkan hasil seleksi diketahui nilai minimal yang diterima di Fakultas MIPA Unesa berkisar di angka 85.
Sebelumnya, Ketua Umum SNMPTN Haris Supratno mengatakan, total disediakan beasiswa Rp 5 miliar bagi 15.501 mahasiswa dari keluarga tidak mampu atau miskin. Setiap mahasiswa akan mendapat beasiswa semester pertama Rp 2,5 juta. Namun dari 15.501 formulir yang disebar ke 5167 SMA, formulir yang kembali ke peserta hanya 3.599. Sementara yang lulus seleksi beasiswa masuk universitas (BMU) sebanyak 3.403 peserta. Target BMU ternyata menyusut lagi karena yang mendaftar SNMPTN hanya 2.690 peserta dan yang mengikuti tes sekitar 2.421 peserta. tok/rif
http://www.republika.co.id/berita/67264/Sistem_Presentil_Perbaiki_Kredibilitas_Guru
Selasa, 04 Agustus 2009
Pendidikan Gratis Mendidik atau Memanjakan

Pewarta-Indonesia, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendidikan telah mencanangkan Pendidikan Gratis bagi sekolah negeri khususnya di tingkat SD (Sekolah Dasar), hal ini merupakan fenomena yang sangat penting untuk dicermati. Pendidikan gratis tentu sangat membantu dan meringankan beban bagi keluarga miskin yang ingin bersekolah tetapi terkendala oleh dana, tetapi dari fenomena yang kita lihat, bahwa pendidikan gratis bukanlah jalan yang terbaik kalau ditinjau dari segi kecerdasan si anak.
Banyak orang tua siswa menganggap bahwa pendidikan Sekolah Dasar bukanlah suatu hal yang keharusan lagi atau dasar untuk perkembangan ilmu yang akan dilanjutkan ke depannya, karena mereka menganggap bahwa pendidikan gratis adalah hal yang menyenangkan sehingga para orang tua siswa tidak terlalu memfokuskan anaknya untuk sekolah dan tidak mendorong anaknya supaya pintar, bagaimana tidak pendidikan kan gratis, jadi kapan aja bisa sekolah/masuk jadi tidak perlu takut dipecat dari sekolah karena dimana aja bisa mendaftar gratis pula.
Hal ini sangatlah ironis karena pendidikan sekarang ini bukanlah untuk menciptakan orang-orang yang berilmu tinggi tetapi diterapkan pada sistem gratis. Karena pendidikan gratis, maka setiap siswa tidak lagi gigih dalam menuntut ilmu melainkan berleha-leha karena kalaupun dipecat bisa masuk ke sekolah negeri manapun dengan biaya gratis. Apakah pemerintah mengharapkan kwalitas pendidikan seperti ini...?
Kalau saja Pemerintah memberikan sekolah gratis bagis siswa yang berprestasi minimal peringkat 10 besar, maka semua siswa khususnya yang tidak mampu akan berlomba-lomba untuk belajar dan pintar demi mendapatkan beasiswa tersebut yang notabene karena ketidakmampuan ekonomi keluarga. Hal ini mungkin sangat baik dan mendidik baik bagi orang tua siswa maupun siswa yang bersangkutan. Dari kejadian ini maka dapat dipastikan program pemerintah yang membuat pendidikan gratis adalah tidak mendidik sama sekali tetapi pemerintah hanya mengharapkan bahwa rakyat Indonesia dapat menyelesaikan pendidikan sampai dengan SLTA dengan tidak memiliki ilmu.
Apakah ini yang kita harapkan dari pemerintah buat rakyatnya....?
Sumber image: google.co.uk
http://pewarta-indonesia.com/nspirasi/Opini/pendidikan-gratis-mendidik-atau-memanjakan.html
Sabtu, 01 Agustus 2009
Dipaksa Beli Komputer, Kepala Sekolah Takut Menolak
TEMPO Interaktif, Tegal - Era komputer di Tegal, Jawa Tengah, tampaknya belum dapat segera diwujudkan. Sebab, sejumlah Kepala Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Tegal mengaku tak sanggp membeli perangkat itu, walau dipaksa oleh Dewan Pendidikan setempat.
"Kepala sekolah mengeluhkan soal paksaan Dewan Pendidikan yang mewajibkan (sekolah) membeli perangkat komputer senilai Rp 5 juta dari dana alokasi khusus (DAK)," ujar Suherman saat ditemui di kantornya kemarin.
Menurut Suherman, langkah Dewan Pendidikan itu dinilai menyalahi perannya sebagai pengontrol penyelenggaraan pendidikan di daerah. Ia juga menyayangkan langkah Dewan Pendidikan karena mempengaruhi kepala sekolah untuk membeli komputer dengan anggaran yang tak sesuai dengan alokasi yang semestinya. "DAK hanya untuk pembangunan perbaikan gedung sekolah. Kepala sekolah takut menolak," Suherman menambahkan.
Ia berencana membahas temuan itu dalam rapat Komisi D yang kemudian akan dilanjutkan pada permintaan klarifikasi kepada Dewan Pendidikan.
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal Dimyati membantah isi tudingan itu. Ia justru mempertanyakan aduan yang dinilai fitnah. "Saya merasa tidak pernah melakukan seperti yang diadukan itu," ujar Dimyati.
Menurut dia, sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal, dirinya tak berani menjalani bisnis yang berhubungan dengan kebutuhan sekolah. Hal ini untuk menjaga independensi lembaga yang ia pimpin. "Draf penggunaan DAK hanya untuk rehabilitasi gedung sekolah. Jadi ngawur kalau saya dituduh menghasut agar sekolah membeli komputer," ujar Dimyati dengan nada geram.
http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2009/07/30/brk,20090730-189764,id.html
Sekolah di Garut Jual Paksa Buku Pelajaran
Jum'at, 31 Juli 2009 | 16:25 WIB
TEMPO Interaktif, Garut - Sejumlah orang tua siswa di Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengeluhkan penjualan buku yang dilakukan pihak sekolah. Padahal pemerintah telah menganggarkan buku pelajaran dalam bantuan operasional siswa. "Anak saya yang baru kelas tiga harus membeli buku seharga Rp 300 ribu," ujar Tatang, 36 tahun orang tua siswa di sekolah dasar negeri Kiansantang, Garut.
Menurutnya, buku itu langsung diberikan kepada setiap siswa, tanpa melalui persetujuan orang tua terlebih dahulu. Sehingga dengan terpaksa para orang tua harus membayar buku yang dibawa anaknya tersebut. Bila tidak, para orang tua takut anaknya mendapat intimidasi dari gurunya dan dikucilkan di lingkungan sekolah.
Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut, Bunyamin Lc, menyatakan pihaknya pun kerap menerima pengaduan masyarakat tentang penjualan paksa buku ditingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Oleh karena itu pihaknya akan segera membentuk tim untuk menelusuri kebenarannya. "Bila benar terjadi, itu melanggar aturan wajar dikdas sembilan tahun. Kami akan memanggil dinas pendidikan untuk mempetanggungjawabkannya," ujarnya di ruang rapat paripurna DPRD Kabupaten Garut, Jumat (31/7) kepada Tempo.
Ditempat yang sama, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, Komar Mariuna, membantah tudingan yang dilayangkan dewan dan orang tua siswa itu. Menurutnya, setiap sekolah telah diberikan inventaris buku pelajaran yang diujikan, diantaranya buku ilmu pengetahuan alam, bahasa dan buku pelajaran matematika. "Saya akan pecat bila ada guru yang menjual buku di sekolah," ujarnya.
Dia menambahkan, guru hanya diperbolehkan untuk menginformasikan kepada siswa buku yang akan digunakan dalam proses belajar mengajarnya. Namun untuk pembeliannya diserahkan sepenuhnya kepada siswa. "Kalau orang tua mau anaknya pintar, pasti akan membeli buku referensi buat anaknya itu. Belinya bebas dimana saja," ujarnya.
http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2009/07/31/brk,20090731-190109,id.html
Orang Tua Murid Protes Kewajiban Beli Buku Paket
CIMAHI -- Sebagian orang tua siswa SDN Cibabat Mandiri V Kota Cimahi protes, karena diwajibkan membeli buku paket di sebuah toko buku yang telah ditunjuk oleh pihak sekolah. Orang tua murid di SDN Cibabat Mandiri V, diwajibkan membeli buku paket di luar oleh sekolah," kata salah satu orang tua murid, Ani (39), yang ditemui usai menjemput anaknya, di Jalan Pesantren No.86 Kota Cimahi, Kamis (30/7).
Ia menyatakan, buku yang wajib dibeli oleh orangtua murid ialah buku paket pelajaran SD terbitan PT Empiris dan harus dibeli di sebuah toko buku yang terletak di Perumahan Budi Asri Pesantren Kota Cimahi. "Bukunya harus dari penerbit Empiris, tidak boleh dari penerbit lain dan harus dibeli di toko buku itu (Perumahan Budi Asri Pesantren)," kata Ani.
Menurut Ani, orang tua siswa tidak boleh meminjam buku paket tersebut kepada orang tua siswa lainnya di SDN Cibabat Mandiri V. "Tidak boleh pinjam, karena nilai, materi pelajaran dan tugas sekolah ada di buku paket yang diwajibkan sekolah," katanya.
Dikatakannya, harga buku yang ditawarkan toko buku rujukan SDN Cibabat Mandiri V, jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga buku di toko buku lainnya. Ani mencontohkan, harga buku mata pelajaran PKn terbitan PT Empiris di toko buku rujukan SDN Cibabat Mandiri V ialah Rp30.000.
Akan tetapi, harga buku PKn terbitan PT Empiris jauh lebih murah jika dibeli di toko buku lainnya. "Saya pernah cek ke toko buku lain, harga buku PKn di toko buku lainnya hanya Rp21.000," katanya.
Hal sama juga diutarakan orang tua murid SDN Cibabat Mandiri V, Oneng (31). "Anak saya kembar, keduanya baru masuk SD, ini. Sekarang diwajibkan membeli buku paket oleh sekolah," kata Oneng yang bersuamikan seorang buruh bangunan.
Oneng mengaku keberatan dengan kebijakan pihak sekolah yang mewajibkan membeli buku paket di toko buku yang sudah ditunjuk sebelumnya. "Keberatan sekali, buat apa ada BOS kalau kita masih disuruh beli buku pelajaran, katanya sekolah gratis," kata Oneng. ant/taq
http://www.republika.co.id/berita/65882/Orang_Tua_Murid_Protes_Kewajiban_Beli_Buku_Paket
Teladan Bangsa yang Terpinggirkan
JAKARTA, KOMPAS.com — Di depan kelas kau berusaha tersenyum manis/Namun, di dalam hati kau menangis Aku tak punya apa-apa anakku/Selain buku dan sedikit ilmu Jika kalian libur dan datang ke rumahku, jangan takut anakku. Genteng yang bocor itu/Gelas yang tak berisi air itu/Piring yang tak berisi nasi Kalian akan bercerita tentang aku/Tentang potret kehidupanku sebagai guru.
Penggalan puisi ini adalah ungkapan hati Atrianil (46), salah seorang guru honorer yang bertugas di tiga sekolah berbeda di Jakarta dan Tangerang, Banten. Puisi ini pernah dibaca Ruminah (36), guru honorer lainnya, dan membuat matanya sembab. Isi puisi ini mewakili perasaannya pula.
Puisi-puisi itu adalah jeritan hati, keluh kesahnya. Ketika tidak tahu harus ke mana lagi mengadu, ia pun memilih menulis.
”Menjadi kritis adalah hal yang tabu bagi seorang guru honorer murni. Kalau sudah tidak disukai karena banyak ngomong, ya bahaya. Pemberhentian sepihak, tanpa ada surat peringatan, jadi hal biasa,” ucap guru Akuntansi di Jakarta ini.
Guru honorer di sekolah swasta seperti dirinya menempati strata terendah dalam struktur tenaga kependidikan saat ini. Mereka bekerja dengan hitungan per jam, layaknya buruh kasar. Tidak ada jaminan hari tua dan jaminan kesehatan.
Dalam seminggu, ia mengajar 63 jam di tiga sekolah berbeda, melampaui batas yang diatur undang-undang, 24 jam per minggu. Honornya? Total Rp 900.000 per bulan dari tiga SMK kelas bawah.
Sebelum umur 40, guru yang tinggal di Cipondoh, Tangerang, ini mengajar hingga 80 jam per minggu. Ia pun sanggup mengajar hingga malam hari.
"Sekarang sudah dikurangi. Tidak dibolehkan sama anak-anak,” ucap guru yang biasa disapa Atri ini.
Ia hidup sehemat mungkin. Pernah suatu ketika, karena nekat berangkat mengajar meskipun sedang sakit, ia jatuh terpeleset di jalan dan pelipisnya luka. Karena tidak punya uang, ia terpaksa menutup lukanya dengan oli yang diberikan sopir bus untuk menghentikan pendarahan.
Kini, lebih dari 23 tahun mengajar—20 tahun merantau di Jakarta—tidak ada perubahan nasib yang dialaminya. Anak tertuanya sudah dua tahun menganggur seusai lulus SMA, sengaja tidak ikut ujian seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
”Takut sakit hati. Kalau diterima, tetapi tidak bisa bayar kuliah,” ucapnya mengutip pernyataan putranya, Yoka Perdana Putra.
Untuk biaya SPP putra keduanya, Rp 250.000 per bulan, ia sudah kerepotan. Guna menutupi berbagai kebutuhan hidup, ia mengaku masih mendapat kiriman uang bantuan dari keluarga.
Garuda Pancasila
Cerita-cerita ini dituangkannya dalam cerpen berjudul ”Ketegaran yang Dipaksakan”. Di matanya, profesi guru terkotak-kotak.
”Tidak seperti semboyan burung Garuda Pancasila. Satu profesi, tetapi kami, kan, berbeda-beda nasib dan perjuangannya,” ujar guru yang tengah mengikuti sertifikasi guru melalui portofolio ini sebagai upaya perbaikan nasibnya.
Perasaan terdiskriminasi secara sistemik juga dirasakan Ali Imran (45), guru bantu yang tinggal di Kalimalang, Jakarta Timur. Dia sangat berharap bisa menjadi guru pegawai negeri sipil di DKI Jakarta yang penghasilan sebulannya bisa di atas Rp 5 juta.
”Namun yang diprioritaskan guru PTT (pegawai tidak tetap). Mudah-mudahan kami berikutnya,” ucapnya.
Gali lubang tutup lubang. Itulah semboyan hidupnya. Hampir setiap bulan ia berutang. Honornya mengajar Rp 710.000 per bulan. Ditambah tunjangan jabatan sebagai wakil kepala sekolah, ia membawa pulang Rp 1,3 juta. Ia menanggung hidup lima orang di keluarganya.
Tukang Ojek
Nasib Guru Bantu Daerah Terpencil (GBDT) tidak jauh berbeda. Iwan Nugraha (27), GBDT asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terpaksa menyambi sebagai tukang ojek.
”Untuk menambah-nambah uang transpor. Sekalian berangkat mengajar, dapat tumpangan,” ujar guru yang tiap hari bolak-balik Indramayu-Cirebon untuk mengajar ini.
Ada lagi GBDT yang merangkap menjadi tukang cukur, penjual bubur ayam, hingga juru masak. Dengan penghasilan Rp 750.000 per bulan, bertugas di daerah terpencil, sulit untuk menyalahkan mereka kenapa harus bekerja sambilan.
Ketua Forum Guru Honorer Indonesia Supriyono mengungkapkan, perlu aturan tegas soal perlindungan kesejahteraan guru-guru honorer. Salah satunya memberlakukan upah minimum pendidik.
”Sekolah punya gedung mewah, tetapi gurunya tidak ada, ya tidak bisa belajar. Tetapi meski tempatnya di kuburan, asalkan ada guru, proses belajar bisa tercipta,” ungkap guru di Jakarta ini.
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Suparman mengatakan, nasib guru-guru honorer tidak lebih baik daripada buruh. Para guru honorer kini menaruh harapan pada Rancangan PP tentang Guru Non-PNS yang tengah disusun pemerintah. Disebut-sebut bakal ada pengaturan tentang upah minimum guru. Jumlah guru honorer kini 922.308 orang dan tersebar di sejumlah daerah.
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/06/23/15203781/teladan.bangsa.yang.terpinggirkan
Andi dan Perjuangan Nasib Guru Honor

PALEMBANG, KOMPAS.com - Pemerintahan di Indonesia terus berganti, tetapi nasib guru tetap saja masih terpuruk. Para guru memilih bergerak sendiri dengan membentuk organisasi untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan guru, terutama guru honor.
Salah satunya adalah Andi Semanto (36), seorang guru SMP Negeri 21, Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Andi adalah salah satu pendiri Lembaga Pemerhati Pendidikan (LP2) Sumsel, yaitu sebuah lembaga yang didirikan pada 2007 oleh para guru honor karena rasa prihatin terhadap dunia pendidikan. Jumlah guru honor di Sumsel saat ini sekitar 3.800 orang.
Menurut Andi, bangsa Indonesia tidak akan maju selama tidak memerhatikan masalah pendidikan. Negara seperti Jepang bisa maju karena lebih mengutamakan masalah pendidikan dibandingkan masalah lain.
”Guru yang dihasilkan di Indonesia adalah guru asal cetak dan tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan. Akibatnya, guru tidak fokus dalam mengajar,” kata pria yang lahir di Lahat, 20 Mei 1973, itu.
Andi pun mengalami betapa pahitnya nasib guru, terutama nasib guru honor. Andi yang merupakan alumni Universitas Muhammadiyah Palembang Jurusan FKIP Bahasa Indonesia itu masih berstatus guru honor meskipun sudah mengabdikan diri sebagai guru selama 10 tahun.
Penghasilan sebagai guru honor di Palembang sangat kecil. Andi mengaku mendapat honor 200 ribu per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Andi membuka warung di rumah dan setiap sore setelah selesai mengajar menjadi sopir angkot.
”Saya punya satu angkot hasil menabung sejak mahasiswa. Daripada uang tabungan saya pakai untuk menyuap agar diangkat jadi PNS, lebih baik uang tabungan itu saya pakai untuk modal membeli angkot,” kata Andi. Penghasilan sebagai sopir angkot mencapai Rp50.000 sampai Rp100.000 per hari.
Menurut ayah dari Ahmad Mammduh Naayif (6) dan Alia Fatimah Azahra (4) itu, pengangkatan guru honor menjadi guru PNS merupakan masalah yang dibidik oleh LP2 Sumsel. Pengangkatan guru honor sering tidak transparan. Biasanya guru honor yang diangkat memiliki kedekatan dengan pejabat di bidang pendidikan.
Andi menuturkan, pengangkatan guru honor selalu bermasalah karena sistemnya tidak benar. Kalau pemerintah punya niat baik terhadap dunia pendidikan, seharusnya pemerintah memberikan perhatian kepada guru honor.
Menurut suami dari Septa (35) itu, pengangkatan guru honor menjadi PNS harus berdasarkan prestasi. Andi berharap program sekolah gratis yang digagas oleh Gubernur Sumsel Alex Noerdin juga memberikan kesejahteraan kepada para guru honor.
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/06/08/12201324/andi.dan.perjuangan.nasib.guru.honor
ISCO: Sekolah Gratis, Tak Perlu Ada Embel-embel!
JAKARTA, KOMPAS.com — Menggantung harapan pada sekolah gratis, anak-anak miskin juga boleh bercita-cita. Anak tukang becak ingin jadi dokter, pilot, atau penyanyi, bahkan anak pemulung berhak menjadi guru. Sekolah gratis buat mereka adalah sepeser pun tak keluar uang, tahunya belajar.
Farhan, anak tukang becak di Pademangan Barat, Jakarta Utara, misalnya. Siswa Kelas V SD 09 Pademangan Barat ini mengaku ingin jadi penyanyi.
"Biar bisa banggakan bapak," ujarnya polos, sambil menulis cita-citanya di secarik kertas dan kemudian digantungnya di atas pohon, Sabtu (11/7).
Sejak di Taman Kanak-kanak, lanjut Farhan, ayah-ibunya tidak pernah keluar uang untuk sekolahnya. Bahkan, mimpi bisa sekolah pun tidak pernah muncul di mimpi Farhan, juga kedua orangtuanya.
"Bapak kan cuma tukang becak. Kata Ibu uangnya cuma buat makan, tidak boleh buat sekolah," ujar Farhan.
Lain Farhan, lain pula kisah Ainun, siswi kelas VI SD Rawa Badak Selatan 09 Pagi, Jakarta Utara. Anak buruh pelabuhan di Tanjung Priok ini mengaku bercita-cita ingin menjadi pelukis.
"Kalau di rumah, hobiku menggambar, makanya aku mau jadi pelukis biar lukisannya bisa dijual," kisah putri ketiga pasangan Al Rasyid dan Semirah ini.
Tanpa embel-embel
Selain Farhan dan Ainun, Romlah, siswi kelas I SD Rawa Badak Selatan, juga satu dari ribuan anak miskin yang punya cita-cita setinggi langit setelah bisa bersekolah dengan gratis.
Sejak di TK sampai saat ini ditemui oleh Kompas.com, Sabtu (11/7) kemarin, ketiganya direkrut oleh Yayasan ISCO (Indonesian Street Children Organization), yang memberikan layanan sekolah gratis bagi anak-anak miskin di perkotaan di Jakarta, Medan, dan Surabaya, untuk bersekolah sejak dari bangku TK.
"Kita tahu ada kebijakan sekolah gratis dari pemerintah, hanya saja kita juga tahu kalau itu tidak sepenuhnya gratis sebab masih ada biaya-biaya lain, baik itu sumbangan maupun pungutan-pungutan," ujar Ramida Siringo-ringo, Direktur Eksekutif ISCO.
Sekolah gratis, lanjut Ramida, mestinya tanpa embel-embel. Untuk itulah, kata dia, mulai uang pangkal, SPP, seragam, buku dan peralatan tulis, serta buku pelajaran, bahkan sampai perbaikan gizi mereka diberikan oleh yayasan nirlaba tersebut secara cuma-cuma.
Didirikan atas prakarsa Pascal Lalanne dan Josef Fuchs, warga negara Austria, pada Mei 1999, ISCO memulai perekrutan anak-anak miskin kota tersebut di dua wilayah DKI Jakarta, yaitu Cipinang Besar Selatan dan Manggarai. Saat itu, ISCO baru memiliki 60 anak dampingan.
Kini, setelah 10 tahun berjalan, yayasan tersebut terhitung sudah membantu dana pendidikan bagi anak-anak miskin perkotaan di wilayah Jakarta, Depok, Surabaya dan Medan. Jumlah mereka pada tahun ajaran 2008-2009 sudah mencapai 1.725 anak dan akan menjadi 2.200 anak pada Juli 2009.
"Kami hanya ingin memutus rantai kemiskinan dari orangtuanya dan berharap mereka tidak terjebak sebagai anak jalanan," tukas Ramida.
Di 26 area perekrutan, 17 di Jakarta, 7 di Surabaya, dan 2 di Medan, anak-anak tersebut kini bersekolah di sekolah-sekolah umum. Sepulang sekolah, mereka diberi pelajaran tambahan di Sanggar Kegiatan Anak (SKA) yang didampingi oleh para tutor sejak Senin hingga Jumat. Setiap hari Sabtu, anak-anak itu juga diberi tambahan gizi berupa bubur kacang hijau, vitamin, dan susu.
"Sebelumnya, mereka tidak berani bilang punya cita-cita, jangankan punya, mimpi saja tidak," cerita Ramida.
"Sekarang, walaupun ada yang tinggal di pinggir rel kereta atau di gubuk-gubuk kumuh, orangtuanya cuma pemulung atau tukang becak, mereka sudah berani mengatakan cita-citanya. Saya mau jadi dokter, atau saya ingin jadi guru!" tandasnya.
LTF
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/07/13/12533947/isco.sekolah.gratis.tak.perlu.ada.embel-embel..
Negara Belum Menjamin Hak Anak atas Pendidikan!
BAHANA PATRIA GUPTA/HARIAN KOMPAS JAKARTA, KOMPAS.com — Jaminan pendidikan adalah tanggung jawab negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Bab XIII Pendidikan dan kebudayaan. Pada kenyataannya, hal itu belum seluruhnya terlaksana, dan masyarakat belum merasakannya.
Bahkan, berbagai kebijakan pemerintah, seperti UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan UU BHP Nomor 9 Tahun 2009 tidak juga menjawab persoalan. Biaya pendidikan masih tetap mahal, dan belum mengakomodasi semua hak anak Indonesia atas pendidikan yang layak.
"UUD 45 sudah memberikan kita jaminan hak anak atas pendidikan, tinggal dilaksanakan saja kok, tetapi ternyata itu tidak sepenuhnya dilakukan. Jadi, sejak tahun dibuatnya pada 1945 sampai sekarang ini, hak anak atas pendidikan belum terpenuhi," ujar Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, di Jakarta, Kamis (30/7).
Utomo mengatakan, pemerintah tinggal berkomitmen menjalankan Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan. Jika itu dilakukan, kata dia, hak anak atas pendidikan tentu terpenuhi.
"Pasal 31 ayat 1, 2, dan 4 itu sangat jelas sekali bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional," ujarnya.
"Jadi, aneh kalau aturan-aturan itu justru kontradiktif dengan kenyataan yang ada. Ternyata, rakyat masih harus berjuang untuk hak anak atas pendidikan, seperti zaman penjajahan dulu sajalah," tandas Utomo.
Sementara itu, pengamat pendidikan dari Education Forum, Elin Driana, menilai, banyak kebijakan pada sistem pendidikan nasional yang tidak seutuhnya membela hak anak. Sampai hari ini, kata dia, banyak anak usia sekolah yang tidak sekolah, padahal itu sudah merupakan tanggung jawab negara.
"Banyak kebijakan yang berlaku diskriminatif dan menimbulkan kesenjangan, baik itu secara ekonomi, maupun akademis, yang menyebabkan banyak anak tidak mendapatkan haknya," ujar Elin.
Kebijakan sekolah RSBI/SBI, misalnya. Sekolah tersebut menawarkan kualitas pendidikan yang bagus, tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan tidak mungkin bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Selain itu, tambah Elin, bantuan pemerintah terhadap RSBI/SBI pun tampak dibedakan dengan sekolah yang bukan RSBI/SBI sehingga dari sisi kualitas dan fasilitas seperti "langit dan bumi".
"Jadi, apakah yang berhak menikmati kualitas itu hanya anak-anak dari keluarga yang punya uang?" tanya Elin retoris.
LTF
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/07/31/10315669/negara.belum.menjamin.hak.anak.atas.pendidikan.
Selasa, 28 Juli 2009
Kisah Nyata Nasib Anak-anak Indonesia Yang Kurang Mampu
Aduh… Susahnya Rakyat Miskin Pergi ke Sekolah
SEPERTI biasa Asep Supriyadi (14) saban hari selalu berada di SD Negeri 06 Rawajati Barat di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Hanya saja, saat anak-anak lain mengikuti pelajaran di kelas, bocah berkulit hitam itu setia menjagai gerobak siomay dagangannya.
BEGITU bel istirahat berdering, saat itu pula kesibukan Asep melayani para pembeli cilik yang masih seumur dengannya dimulai. Sesekali Asep terlihat bercanda-canda dengan mereka. Selain di sekolah itu, Asep juga berjualan di beberapa SD dan SMP di kawasan itu.
Hampir satu tahun ini Asep yang lulusan SD Negeri 04 di Desa Cengal, Majalengka, Jawa Barat, tidak bersekolah lagi. Dia tidak ingin membebani orangtuanya yang hanya penjual sayur-sayuran dan kadang- kadang terpaksa mencari rumput pakan sapi untuk menutupi biaya hidup. Selain itu, pelajaran di sekolah menurut dia terlalu berat sehingga dia merasa tidak kuat atau tidak cukup pintar untuk belajar terus.
Ketika kakak sepupunya, Udin, mengajak dia ke Jakarta untuk berjualan siomay, Asep Supriyadi dan orangtuanya langsung mengiyakan. Tiga bulan sudah dia berjualan, mulai dari pukul 08.00 sampai pukul 15.00, berkeliling mendorong gerobak. Upah Rp 200.000 dibayarkan langsung ke orangtuanya di desa. Di Ibu Kota, bocah itu tinggal bersama lima pedagang lain di sebuah kamar kontrakan di daerah Pancoran. "Lebih baik saya dagang, dapat uang," kata Asep mempertegas niatnya untuk melupakan saja bersekolah.
Kalau Asep Supriyadi memilih berhenti sekolah dan bekerja, nasib lebih tragis menimpa Bunyamin (17). Siswa kelas II Logam I SMK Negeri 2 Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, itu tewas gantung diri di tiang dapur rumahnya (Kompas, Kamis 7 April 2005). Ironisnya, Bunyamin diduga bunuh diri lantaran tidak mampu membayar biaya sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP). Kepada Kamiluddin (26), sepupunya, almarhum sempat bercerita selama sepuluh hari tidak masuk sekolah takut tidak bisa membayar uang sekolah, rendah diri dan ngeri dikeluarkan dari sekolah. Apalagi saat itu sudah menjelang ujian akhir. Saking paniknya, menurut salah seorang temannya, Bunyamin sempat berniat menjual sepatu yang biasa dipakai ke sekolah untuk menutupi uang SPP.
Uang sekolahnya itu sebesar Rp 40.000 sebulan dan sudah tertunggak sembilan bulan. Orangtua almarhum merantau di Jakarta sebagai penjual nasi goreng sehingga Bunyamin tinggal bersama kakaknya yang sudah mempunyai tanggungan keluarga sendiri. Sebelum upaya pihak sekolah mencarikan beasiswa berhasil, Bunyamin kadung memilih mengakhiri hidupnya.
DARI sekian banyak pilihan sebagai bangsa yang baru merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan mencerdaskan bangsa sebagai salah satu tujuan negara. Pendidikan saat itu telah disadari merupakan hak dasar dan mencerdaskan bangsa. Artinya, tidak ada satu pun yang boleh tertinggal untuk mengecap pendidikan. Ironisnya, hampir enam puluh tahun kemudian, pendidikan masih menjadi kemewahan. Bahkan, masih ada warga di negeri ini yang tak sanggup lagi mengecapnya, seperti Asep dan Bunyamin.
Pusat Data dan Informasi Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional memproyeksikan, murid yang putus sekolah tahun ajaran 2004-2005 di level SD, SMP/MTs, SMA/ MA mencapai 1.122.742 anak. Angka terbesar justru putus sekolah tingkat SD, yakni mencapai 685.967.
Turunnya kemampuan orangtua untuk membiayai pendidikan anaknya-terutama pada masyarakat lapisan kelas bawah, menurut proyeksi itu, masih menjadi penyebab utama tingginya jumlah anak yang putus sekolah. Gejala ini memberi dampak negatif, yaitu semakin banyaknya anak usia sekolah yang harus bekerja pada berbagai lapangan pekerjaan. Tak bisa dimungkiri, kualitas angkatan kerja yang masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah ini menyebabkan profesionalitas sumber daya manusia Indonesia tergolong rendah dan sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Berdasarkan proyeksi itu, masalah uang sekolah serta biaya langsung atau tidak langsung pendidikan sangat memengaruhi pemenuhan partisipasi di sekolah. Banyak anak menyangkal hak mereka untuk menempuh hak mereka untuk pendidikan dasar.
Laporan tim Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menyebutkan biaya pendidikan lebih banyak ditanggung masyarakat daripada pemerintah. Porsi biaya pendidikan yang ditanggung orangtua siswa mencapai 53,74 sampai 73,87 persen dari total biaya pendidikan. Sementara porsi biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat (selain orangtua siswa) sebesar 26,13-42,26 persen dari total biaya pendidikan yang harus dikeluarkan.
Berbagai jurus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi kondisi ini, di antaranya melalui pemberian beasiswa dengan dana kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang sudah beberapa tahun ini berjalan. Dana kompensasi kenaikan harga BBM untuk pendidikan tahun 2005 ini, misalnya, diputuskan sekitar Rp 9 triliun. Dari dana tersebut, besar beasiswa atau dana bantuan khusus murid (BKM) per siswa miskin di tingkat SD atau sederajat Rp 25.000 per bulan. Sementara bantuan bagi siswa SMP sederajat Rp 65.000 per bulan per siswa, dan SMA sederajat Rp 120.000 per bulan untuk masing-masing siswa.
Namun, pemberian beasiswa sebelumnya tidak juga menyelesaikan persoalan di lapisan bawah masyarakat. Angka putus sekolah tetap tinggi. Pemerintah pada dasarnya memang tidak cukup hanya memberikan beasiswa, sebab untuk dapat pergi ke sekolah siswa membutuhkan hal-hal lain yang kadang menguras kantong lebih banyak daripada uang sekolahnya.
Paling tidak itu dialami oleh Nurdin (46). Lelaki yang tinggal di daerah Pengadegan, Jakarta Selatan, itu sehari-hari mencari nafkah dengan menjadi pemulung kardus sejak mengalami pemutusan hubungan kerja sebagai sekuriti di sebuah perusahaan tahun 1997. Saking miskinnya, pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, itu harus tinggal di emperan toko dekat pul bus Damri di Pasar Minggu.
Dia mempunyai empat anak, dua di antaranya sudah berusia SD. Namun, Nurdin baru dapat menyekolahkan satu anaknya, yakni Nurprihatin (11), di SD Negeri 05 Pengadegan, Kalibata. Sementara Nurpriyanto yang berusia sembilan tahun belum bersekolah.
Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan Nurprihatin saja dia kerepotan, padahal uang SPP sudah dibebaskan. Setiap hari dia masih harus menyiapkan ongkos transportasi Rp 3.000 untuk naik mikrolet dan ojek. Terkadang, kalau penghasilan sedang kurang, Nurdin hanya memberi ongkos sekali jalan. Pulangnya, dia akan menjemput si anak dengan gerobak untuk memulung.
Dalam setahun terakhir, untuk kebutuhan lima setel seragam terdiri atas seragam merah putih, pramuka, dan batik, Nurdin harus merogoh kocek sekitar Rp 200.000. Untuk buku pelajaran sekitar Rp 160.000. Dia juga bercerita bahwa masih menunggak enam bulan biaya ekstrakurikuler komputer, yang sebulannya Rp 15.000.
Padahal, dengan mencari kardus, Nurdin hanya mendapatkan Rp 15.000 per hari. Istrinya juga tidak bekerja. Bisa dibayangkan betapa susah hidup mereka. Untuk makan yang wajar bagi lima orang anggota keluarganya setidaknya dibutuhkan Rp 24.000 sehari. Jika sedang tidak ada rezeki, Nurdin terpaksa mengalah tidak makan. "Kadang saya beruntung, ada saja orang yang memberikan sedekah. Saya juga pernah dapat bantuan uang dari sekolah," katanya.
Hal senada diungkapkan Jaka, yang berjualan gorengan di daerah Kalibata. Anaknya bersekolah di SD Negeri 03 Jumapolo di Ngamblang, Karang Anyar, Solo, Jawa Tengah. "Untuk uang sekolah memang saya masih mampu, yakni Rp 16.000 per bulan, tetapi untuk seragam misalnya, harus menyediakan uang sekitar Rp 30.000 untuk satu setel seragam di awal tahun. Belum lagi buku pelajaran yang mencapai puluhan ribu rupiah," katanya.
Permasalahan serupa terjadi pula di daerah yang telah mendeklarasikan bebas SPP. Kenyataannya, di lapangan justru muncul bermacam pungutan yang dapat memberatkan para siswa dan orangtuanya.
Ade Irawan dari Divisi Pendidikan Indonesian Coruption Watch mencatat, ada sekitar 39 jenis pungutan di sekolah. Mulai dari biaya rapor, guru bantu, lembar kerja siswa, fotokopi ujian, komputer, disket, nilai olahraga, peringatan hari besar, mutasi, awal tahun, sarana olahraga, uang kunti, kapur, ekstrakurikuler, sampai kawinan guru. Ada saja murid yang akhirnya tidak meneruskan sekolah karena tidak mampu menebus ijazah dan membayar kegiatan ekstrakurikuler. Model lainnya, siswa yang baru masuk ke sekolah tidak langsung diinformasikan biaya yang harus dikeluarkan. Sesudah seminggu atau sebulan sekolah berjalan, baru pengelola sekolah memanggil orangtua murid untuk meminta partisipasi biaya karena ada keperluan ini dan itu. Orangtua murid akhirnya terjebak dan tidak mempunyai banyak pilihan.
Terkait beasiswa, untuk menentukan siapa si miskin yang berhak menerima sumbangan juga menjadi soal dan kerap gagal. Akibatnya, beasiswa rawan jatuh ke tangan yang salah.
Pernah pula terlontar niatan membangun sistem subsidi silang, yang dikuatkan dengan keputusan presiden atau bahkan ditingkatkan menjadi undang-undang. Dengan mekanisme subsidi silang yang dianggap berwatak sosial oleh pemerintah itu masyarakat mampu secara finansial akan menyubsidi warga miskin.
Sekolah negeri unggulan secara bertahap juga didorong mandiri dan tidak bergantung kepada pemerintah, yang dengan kata lain mengarah kepada privatisasi pendidikan. Adapun dananya dilimpahkan lebih banyak ke sekolah untuk memperluas akses bagi masyarakat dengan standar pelayanan pendidikan minimal tertentu. Peserta didik dari daerah tertinggal atau miskin diupayakan tetap memiliki akses ke sekolah yang baik atau unggulan dengan sistem subsidi silang. Akan diatur kewajiban sekolah memberikan beasiswa.
Hanya saja, muncul pertanyaan siapa yang akan menyubsidi orang miskin di daerah miskin? FAISAL Madani dari Unit Fasilitasi Desentralisasi Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional berpendapat, yang diperlukan sekarang adalah sinergi di semua sektor pemerintah agar mengatasi permasalahan sehingga masyarakat miskin tersentuh dan hak mereka terpenuhi. Tidak hanya dari segi pendidikan saja, tetapi ekonomi keluarga miskin juga harus dibantu untuk mengangkat kemampuan mereka.
Kalau dilihat dari APBN, pendidikan sudah berada di nomor dua setelah anggaran pertahanan dan keamanan. Pemerintah setidaknya telah mencoba meletakkan persoalan pendidikan dalam prioritas. Hanya saja, persoalan yang mengiringinya sangat banyak dan tidak mudah.
Selain jumlah anak usia belajar yang besar, terjadi perubahan sistem menjadi desentralisasi. Ada pula masalah penegakan demokrasi dan akuntabilitas publik.
Untuk itu, perlu dibangun prakondisi yang harus dimulai dari pemberdayaan masyarakat. Namun, pemberdayaan masyarakat tersebut jangan langsung diarahkan kepada pembiayaan mandiri, melainkan pemberdayaan masyarakat untuk berani menuntut haknya. Negara juga tetap harus mempunyai rasa berkepentingan untuk menanggung kewajibannya apa pun kondisinya.
Bagaimana juga anak miskin sebagai warga negara mempunyai hak memperoleh pendidikan bermutu tanpa diskriminasi. Hak memperoleh pendidikan bagi seluruh masyarakat ini ini juga diperkuat dalam Artikel 26 (1) dari Universal Declaration of Human Rights, yang menyebutkan: Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.
(Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0505/03/PendDN/1724863.htm)
Nasib Anak Putus Sekolah

GEGAP gempita demokratisasi dalam berbagai pilkada di Indonesia tidak boleh melupakan tingginya angka kemiskinan dan angka putus sekolah di kalangan masyarakat bawah. Demokrasi hanya akan berarti, jika tidak ada lagi angka putus sekolah dari SD sampai SLTA akibat kemiskinan dan keterbelakangan.
Hanya dengan generasi penerus yang terdidik dan cerdas serta bermoral, maka hari depan bangsa bisa dibayangkan titik terangnya. Namun pendidikan di Indonesia semakin lama semakin mahal. Program pendidikan gratis yang diterapkan pemerintah pun masih dianggap belum efektif dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia.
Sehingga wajar bila banyak anak-anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah akibat masalah dana. Sebanyak 8 juta siswa SD sampai SLTP di seluruh Indonesia terancam putus sekolah. Jumlah tersebut setara 20% hingga 40% siswa SD-SMP saat ini, yaitu sekitar 40 juta siswa.
Fakta 8 juta siswa yang terancam putus sekolah ini disampaikan oleh A Piet Simandjuntak, Sekretaris Pengurus Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GN-OTA). Tingginya angka anak-anak yang putus sekolah ini, ditengarai menjadi pangkal dari banyaknya kasus eksploitasi anak di bawah umur, perdagangan anak (trafficking), dan narkoba.
GN-OTA didirikan atas inisiatif pemerintah pada 29 Mei 1996 yang diawali dengan kepedulian akan tuntasnya program Wajib Belajar 6 tahun. Saat ini program wajib belajar telah ditingkatkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun, yaitu dari SD sampai SLTP.
Kita sangat prihatin terhadap tingginya angka putus sekolah akibat kemiskinan itu. Sudah semestinya pemerintah maupun kaum kaya di Indonesia perduli dan berkomitmen membantu mengatasi masalah tersebut.
Memang sejumlah perusahaan telah menunjukkan kepeduliannya. GN-OTA misalnya baru-baru ini menerima bantuan sebesar Rp 100 juta dari PT Tirta Citra Nusantara. Angka itu jelas jauh dari cukup, meski diharapkan dapat membantu biaya pendidikan seribu siswa seluruh Indonesia.
Kita mengimbau kaum kaya dan pengusaha untuk memberikan sumbangan bagi GN-OTA agar menjadi bentuk kepedulian terhadap masalah sosial dan pendidikan di Indonesia. Jika angka putus sekolah SD sampai SMA bisa diatasi, masa depan generasi mendatang sudah pasti akan lebih baik dibandingkan masa lalu yang ditandai dengan tingginya angka putus sekolah itu.
Sudah tentu, kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan murah atau gratis amat dinantikan oleh kaum miskin, agar kehidupan mereka bisa bebas dari buta pengetahuan.
Adalah tugas dan kewajiban negara dan masyarakat secara bersama untuk mencerdaskan bangsa dan menyelamatkan kaum tak punya dari keterbelakangan. Ini penting agar delapan juta siswa sekolah tidak putus di tengah jalan.
Sumber: www.inilah.com
Presiden: Prioritaskan Pendidikan Murah dan Bermutu [Ekonomi dan Keuangan]
Jakarta, Pelita
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan saat ini sangat diperlukan kebijakan, program, serta langkah-langkah serius untuk mencapai tujuan terciptanya pendidikan yang murah tapi bermutu, sehingga terjangkau terutama bagi mereka yang tidak mampu. Prioritas peningkatan layanan pendidikan bagi masyarakat adalah bagian dari upaya pemerataan pembangunan.
Melalui pemberian beasiswa, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), BOS Buku, Bantuan Khusus Murid (BKM), serta program lainnya; pemerintah telah berhasil membebaskan beban sekitar 70,3 persen siswa SD dan SMP. Kebijakan semacam ini perlu dikembangkan agar akses pendidikan lebih melebar teutama bagi keluarga miskin, ujar Presiden SBY pada acara Penutupan Rembuk Nasional Pendidikan 2008, di Jakarta, Rabu (6/2).
Kebijakan pemberian dana bagi operasional maupun siswa ditujukan bagi pemerataan akses pendidikan, sehingga nantinya tidak ada alasan bagi siapapun termasuk rakyat miskin untuk tidak sekolah. Misalnya pada tahun 2007 telah disalurkan dana bantuan sebesar Rp11,5 triliun melalui pemberian beasiswa, BOS, BOS Buku, dan BKM dengan hasil signifikan yaitu sebanyak 70,3 persen siswa SD dan SMP terselamatkan dari ancaman putus sekolah.
Meskipun anggaran pendidikan belum mencapai jumlah ideal, namun upaya yang ditempuh pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program menciptakan pendidikan yang murah mulai terlihat. Bahkan Presiden berjanji akan terus mengembangkannya sehingga akses pendidikan semakin melebar dan luas di seluruh penjuru Tanah-Air.
Dalam penutupan Rembuknas Pendidikan 2008, selain masalah biaya pendidikan, Presiden meminta Mendiknas, bupati, walikota, Kepala Dinas Pendidikan, dan rektor yang hadir untuk memikirkan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka menciptakan pendidikan yang berkualitas disamping murah. Terutama masalah peningkatan kualitas atau kompetensi guru dan dosen, termasuk masalah hak atas gaji atau tunjangan yang memadai.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan artinya perlu membicarakan mutu guru dan dosen yaitu sejauhmana mereka mempunyai kompetensi yang baik, tapi juga terpenuhi haknya secara baik yaitu dengan gaji yang cukup, tunjangan fungsional, dan tunjangan khusus yang nantinya memotivasi agar lebih baik lagi, jelas Kepala Negara.
Pada kesempatan tersebut Presiden juga berharap agar terus ditingkatkannya koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam rangka mempertahankan mutu pendidikan bangsa, sehingga minimal tidak tertinggal dari negara lain. Begitu juga perlunya sinergi dan sinkronisasi antara lulusan yang dihasilkan perguran tinggi dengan kebutuhan tenaga kerja di sektor industri masih belum \'mix and match\'.
Kemudian pengadaan fasilitas belajar, sarana termasuk dalam penerapan teknologi mutakhir di sekolah. Saat ini 10.000 sekolah sudah menggunakan ICT dengan harapan akan lebih cepat proses kegiatan belajar mengajar. Sehingga pada ahirnya lulusan dalam negeri dapat bersaing dengan SDM asing.
Mengenai Rembuknas Pendidikan 2008 dinilai sebagai sebuah kegiatan penting yang melibatkan Pemerintah Pusat, Daerah serta bupati/walikota, Kepala Dinas Pendidikan, dan para rektor yang bertujuan menghimpun pemikiran bersama untuk pembangunan pendidikan di Tanah-Air. Selain mengulas pencapaian kinerja Depdiknas mulai 2005-2007, juga dibahas agenda dan prioritas di bidang pendidikan untuk tahun 2008.(mth)
http://www.hupelita.com/baca.php?id=44278
Program Pendidikan Murah dan Bermutu
| Sabtu, 11 Jul 2009, | 29 Program Pendidikan Murah dan Bermutu |
| |
| Oleh: Allan D. Modjo, S.Pd Penulis adalah Kepala Bidang Pendidikan Menengah Kejuruan (Kabid Dikmenjur) pada Dinas PPO Kota Kupang. Usia Pemerintah Kota Kupang dibawa kendali Duo Dan sebentar lagi akan memasuki tahun kedua, tepatnya pada tanggal 1 Agustus 2009. Seiring berjalannya waktu selama hampir dua tahun, banyak hal yang sudah dilakukan oleh Pemerintahan Dou Dan bagi warga Kota Kupang termasuk kebijakan program pembangunan di bidang pendidikan. Di bidang pendidikan, Pemerintah Duo Dan menerapkan dua strategi unggulan yaitu; (1). “Program Pendidikan Murah dan Bermutu” serta, (2). “Pengelolaan Subsidi Silang dan Standarisasi Sekolah Sesuai Kategori”. Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga (PPO) Kota Kupang saat ini sementara melakukan kajian dan analisis terhadap berbagi kebutuhan yang berkaitan dengan dua strategi unggulan ini, teristimewa pada tataran pengelolaan data dan manajemen. Strategi yang Ditawarkan: (1). Program Pendidikan Murah dan Bermutu Merujuk pada Surat Mendiknas Nomor: 23/MPN/KU/2009 tangga 25 Pebruari 2009 Perihal “Kebijakan Pendidikan Gratis Bagi Satuan Pendidikan Dasar”, Pemerintahan Duo Dan menerapkan program pendidikan murah dan bermutu, artinya bukan suatu system pelayanan pendidikan gratis. (Keputusan Walikota Kupang Nomor: 122/KEP/HK/2009 tanggal 26 Juni 2009 tentang “Pendidikan Murah Dan Bermutu” ) diseluruh jenjang dan jenis pendidikan di Kota Kupang tahun pelajaran 2009/2010. Program pendidikan murah yang ditawarkan oleh Pemerintahan Duo Dan adalah sebuah program yang benar-benar murah tetapi tidak murahan, artinya bahwa seluruh komponen yang mengurus pendidikan harus mampu memberikan pelayanan pendidikan yang murah kepada masyarakat, murah mengakses informasi pendidikan, murah memberikan senyum, murah berinteraksi dalam dunia pendidikan dan juga murah dalam proses pembiayaan. Proses pembiayaan pendidikan murah yang dimaksudkan disini adalah sebuah proses pelayanan pendidikan yang diberikan dalam bentuk subsidi oleh Pemerintah kepada masyarakat dan bukan pendidikan gratis. Beberapa jenis subsidi Pemerintah untuk bidang pendidikan adalah seperti dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan BOS buku pelajaran, dana bantuan khusus murid (BKM), dana bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) dan dana bantuan beasiswa prestasi. Dari beberapa jenis bantuan dana subsidi ini tidak bisa diterjemahkan sebagai program pendidikan gratis karena sasaran utamanya adalah untuk membantu meringankan beban masyarakat akibat krisis ekonomi global dan bukan untuk menggratiskan segala urusan pendidikan. Langkah ini diambil selain sebagai upaya untuk menyukseskan program wajib pendidikan dasar (JARDIKDAS) sembilan tahun juga untuk memberikan pelayanan pendidikan yang murah, adil dan merata bagi seluruh komponen masyarakat teristimewa bagi masyarakat yang kurang mampu untuk membiayai pendidkan anaknya. Upaya untuk menyukseskan strategi ini sesungguhnya sudah dirintis dan dikaji sejak tahun lalu, atau beberapa bulan setelah pelantikan Pemerintah Duo Dan, hanya sayangnya belum bisa dijalankan secara optimal oleh karena beberapa kendala yang masih perlu dibenahi bersama oleh pemerintah dan masyarakat teristimewa pada tahapan pengumpulan dan analisis data pendukung dari sekolah sebagai unjung tombak pelaksana dilapangan. Pengumpulan bio data peserta didik dan orangtua/wali dari seluruh sekolah disetiap jenjang dan jenis pendidikan di Kota Kupang khususnya dari 16 sekolah menengah negeri dengan jumlah peserta didik sekitar belasan ribu, membutuhkan waktu yang cukup untuk mengolah, menganalisis, dan melakukan kajian yang akurat sehingga validitasnya dapat terukur dan sustainable. Kembali ke “Thema Pendidikan Murah dan Bermutu”. Pendidikan murah dan bermutu yang dimaksudkan disini juga adalah sebuah proses dan pelayanan pendidikan yang biayanya tidak terlalu mahal atau dengan kata lain bisa dijangkau oleh seluruh komponen masyarakt tetapi dengan mutu output yang tidak kalah bersaing dengan output dari daerah lain yang proses dan pelayanan pendidikannya lebih mahal dari ukuran standar Kota Kupang. Untuk diketahui bahwa kebutuhan operasional peserta didik untuk sekolah menengah pertama (SMP) adalah sekitar 1,5 juta rupiah per siswa per tahun, sekolah menengah atas (SMA) sekitar 1,8 juta per siswa rupiah per tahun, dan sekolah menengah kejuruan (SMK) diestimasi sekitar 2,2 juta rupiah per siswa per tahun (Penelitian Balitbang Kompas tanggal 2 Desember 2008). Dari data pembanding ini dapat dipahami bersama bahwa biaya pendidikan di Kota Kupang masih jauh lebih rendah dari nilai total operasional siswa secara nasional per tahun. Dana operasional peserta didik di Kota Kupang masih berada dibawah satu juta rupiah per siswa per tahun untuk tingkat SMP dan dibawah satu setengah juta rupiah bagi siswa SMA, serta dibawah dua juta untuk siswa SMK. Pemahaman orangtua/wali peserta didik yang telah “terhipnotis” dengan “Pendidikan Gratis!” oleh para politisi dewasa ini adalah suatu pola pikir yang keliru. Subsidi yang diberikan oleh Pemerintah hanyalah sebagai dana stimulant untuk membantu meringankan beban orangtua/wali pesrta didik yang kurang mampu akibat krisis keuangan global dan bukan untuk menggratiskan pendidikan. Subsidi tidak bisa mengambil alih seluruh peranan dan tanggungjawab orangtua/wali terhadap kelangsungan pendidikan anak. Orangtua/wali harus mampu berpikir konstruktif dan visioner bahwa anak datang ke sekolah tidak cukup hanya dengan membawa badan kosong dan selesai persoalan. Kebutuhan personal peserta didik seperti pembelian pakian seragam, jubah praktikum, sepatu sekolah, alat tulis menulis, uang transportasi (uang bemo), uang jajan dan lain sebagainya yang berkaitan erat dengan kebutuhan anak di sekolah adalah bagian yang tak terpisahkan dari peran serta dan tanggungjawab orangtua/wali terhadap proses pendidikan anaknya. (Peraturan Pemerintah Nomor : 39 Tahun 1992 tentang Peranserta Masyarakat dalam pembangunan pendidikan nasional). (2). Subsidi silang dan Standarisasi Sekolah Untuk meningkatkan mutu dan pelayanan pendidikan di Kota Kupang, Pemerintah Duo Dan juga membuat satu terobosan dalam pengelolaan manajemen pendidikan yaitu dengan menerapkan subsidi silang antara sesama peserta didik. Subsidi silang ini diatur sesuai dengan kebutuhan dari sekolah masing-masing berdasarkan data yang akurat dalam sebuah pengelolaan manajemen yang akuntabel dan profesional sehingga bisa terukur dan tepat sasaran. Sasaran yang ingin dicapai dari subsidi silang ini adalah untuk memupuk satu nilai kebersamaan dan keadilan antara sesama peserta didik dalam satu komunitas sekolah. Peserta didik yang mampu secara ekonomi dapat mensibsidi pesrta didik yang kurang mampu dalam proses pembiayaan pendidikan disekolah. Artinya kesediaan membiayai operasional peserta didik dari orangtua/wali yang mampu tidak sama nilainya dengan biaya operasional peserta didik dari orangtua/wali yang tidak mampu secara ekonomi. Terobosan lain yang gencar dilaksanakan oleh Pemerintah Duo Dan saat ini adalah penetapan kategori rintisan sekolah standar (Keputusan Walikota Kupang Nomor: 83/KEP/HK/2008 tanggal 1 Juli tahun 2008 tentang “Penetapan Nama-Nama Kategori Rintisan Sekolah Standar Nasional (RSSN) dan Bertaraf Internasional (RSBI) dilingkungan Pemerintah Kota Kupang)”. “Penetapan kategori rinitisan sekolah standar disesuaikan dengan kondisi, daya dukung, dan kesediaan membayar dari masyarakat yang ditetapkan dari jenjang dan total jumlah sekolah negeri yang ada di wilayah Kota Kupang sebesar 15 % RSSN dan 10 % RSBI (butir ke empat)”. “Penetapan kategori rintisan sekolah ini dilaksanakan sebagai suatu kesatuan yang sistemik, terbuka, demokratis dan adil melalui proses pembudayaan masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengendalian layanan mutu pendidikan” (butir kedua). “ Pemerintah Daerah berhak mengelola, memantau dan mengendalikan penyelenggaraan standarisasi sekolah sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat dan menjamin terlaksananya system pendidikan yang berkualitas melalui berbagai layanan dan kemudahan dalam mengakses pendidikan” (butir ketiga). Adapun 32 RSSN dan RSBI dari 102 sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan dimaksud adalah sebagai berikut; (1) RSSN pada tingkat pendidikan dasar (SD) ada 15 sekolah yakni; (1). SDN Bertingkat Oeba V,(2). SDI Bertingkat Kelapa Lima II, (3). SDN Oepura I, (4). SDN Fontein I, (5). SDI Fatufeto I, (6). SDI RSS Liliba, (7). SDN Bertingkat Naikoten, (8). SDI Nunhila, (9). SDI Bertingkat Oebobo II, (10). SDI Bertingkat Oepura IV, (11). SDI Oetete I, (12). SDN Kelapa Lima, (13). SMPN III, (14). SMPN IV, dan (15). SMPN V Kupang. (2) RSBI pada tingakt pendidikan dasar (SD) ada 10 sekolah yakni; (1). SDN Kuanino III, (2). SDI Oesapa Kecil I, (3). SDI Sikumana II, (4). SDI Bertingkat Perumnas III, (5). SDN Naikoten I, (6). SDI Bertingkat Kelapa Lima I, (7). SDI Bonipoi II, (8). SDN Bonipoi I, (9). SMPN I, dan (10). SMPN II Kupang. (3) RSSN pada tingkat pendidikan menengah ada 4 sekolah yakni; (1). SMAN II, (2). SMAN V, (3). SMKN II, dan (4). SMKN III Kupang. (4) RSBI pada tingkat pendidikan menengah ada 3 sekolah yakni; (1). SMAN I, (2). SMAN III, dan (3). SMKN I Kupang. Dari kategori rintisan sekolah ini, Pemerintah menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang akan dibenahi secara bertahap baik dari aspek kelengkapan infrastruktur, sarana penunjang pendidikan, kualifikasi dan ketersediaan tenaga guru maupun variable ikutan lainnya sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berstandar nasional/internasional sebelum menjadi “The Real Standard”. Penerimaan Siswa Baru (PSB) Data output peserta didik di Kota Kupang pada setiap tahun pelajaran dari setiap jenjang dan jenis pendidikan menunjukan bahwa daya dukung sekolah yang tersedia di Kota Kupang berbanding seimbang bahkan lebih dari cukup untuk menampung sekitar belasan ribu peserta didiknya sendiri dengan kekuatan ratusan jumlah rombongan belajar yang tersedia pada lebih dari dua ratus sekolah negeri dan swasta yang tersebar di Kota Kupang. Pemerintah Kota Kupang sebagai pemilik wilayah perlu mengendalikan keadaan ini dengan membuat regualsi yang jelas dan terarah dalam sebuah bentuk petunjuk teknis (JUKNIS PSB) yang diterbitkan oleh Dinas PPO sebagi instansi yang bertanggungjawab langsung dengan kegiatan PSB disekolah. Penetapan Juknis oleh Dinas PPO sebagai instansi teknis harus bebas dari intervensi dan kepentingan lain demi terwujudnya pelaksanaan PSB yang profesional, akuntabel dan sustainable. Persoalan PSB di Kota Kupang Polemic yang sering terjadi pada musim PSB di Kota Kupang khususnya beberapa tahun terakhir ini terletak pada dua hal yaitu; (1). Inkonsitensinya pelaksanaan PSB oleh hampir seluruh kelompok kepentingan baik yang datang dari dalam lingkungan Dinas PPO sendiri maupun “kekuatan dari luar” dengan berbagai argumentasi dan kepentingan termasuk (praktek calo dan joki PSB). (2). Paradigma masyarakat yang mendogmatis sekolah – sekolah tertentu untuk menjadi pilihan favorite bagi anaknya tanpa diimbangi dengan kemampuan akademis dan kemampuan ekonomi yang memadai sesuai dengan ketentuan standarisasi sekolah yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Phenomena semacam ini turut mempengaruhi pihak lain yang terlibat langsung dalam kegiatan PSB dan tentunya membuat persoalan menjadi lebih complex dan rumit. Solusi yang ditawarkan Untuk menyamakan presepsi dan meminimalisir persoalan yang ditimbulkan dalam PSB di Kota Kupang maka penulis menawarkan; (1). Seluruh komponen masyarakat teristimewa kelompok kepentingan yang bersentuhan langsung dengan kegiatan PSB harus konsekwen dengan Juknis yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Kupang dan tidak memaksakan kehendak dengan mendogmatis sekolah-sekolah tertentu baik pada diri sendiri maupun kepada pihak lain dengan system perjokian untuk meraih keuntungan tertentu. (2). PSB dipusatkan di Dinas PPO Kota Kupang Untuk seluruh jenjang dan jenis pendidikan dengan system scoring/peringkat nilai tertinggi dari nilai ujian nasional (UN) dan disalurkan ke sekolah dengan ketentuan skor tertinggi untuk RSBI dan RSSN dan seterusnya ke sekolah standar umum (RSU). Hal ini dapat dilaksanakan dengan pemberdayaan tenaga pegawai dari bidang teknis masing-masing di Dinas PPO Kota Kupang yang dibantu oleh beberapa tenaga guru dari setiap jenjang dan jenis pendidikan. Jika tawaran solusi ini bisa diwujudkan secepatnya maka sudah hampir pasti kelompok demonstrasi dengan tuntutan anak harus masuk sekolah favorite dan berbagai argumentasi lainnya termasuk praktek perjokian PSB bisa diminimalisir. Peringkat nilai ujian nasional menjadi parameter utama PSB sesuai hasil scoring dari seluruh pendaftar yang harus dipublikasi secara luas agar dapat diketahui bersama (No excuse to force). Inilah pekerjaan rumah buat kita semua yang perlu ditindaklanjuti secepatnya sebelum menelan korban lagi pada musim PSB yang akan datang. Sekian dan terimakasih! diambil dari http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=34034 |