Kamis, 06 Agustus 2009
Sistem Presentil Perbaiki Kredibilitas Guru
"Nilai mereka bagus-bagus dan saya yakin sekali beberapa tahun ke depan guru benar-benar berkualitas. Apalagi dengan sistem penilaian presentil, hanya mereka yang qualified yang lolos. Selain itu, berdasarkan hasil pengumuman seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) 2009 diketahui, nilai minimal calon mahasiswa yang diterima di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) meningkat," ujarnya.
Menurut dia, tahun ini nilai rata-rata minimal yang bisa diterima di LPTK mencapai angka 85. "Data yang ada menunjukkan demikian. Nilai calon mahasiswa untuk pendidikan guru meningkat dan ini hal yang positif karena suatu saat nanti guru-guru di Indonesia akan lebih baik lagi," ungkapnya
Ketua Panitia Lokal SNMPTN 2009 Budi Jatmiko menjelaskan, minat calon yang mendaftar di LPTK tahun ini meningkat tajam. Setidaknya, ada seribuan peminat di Surabaya yang mencoba menempuh SNMPTN untuk bisa menempati bangku di beberapa fakultas kependidikan.
"Peminat di Unesa (Universitas Negeri Surabaya) tahun ini meningkat antara 9% hingga 10%," ujar Budi. Berdasarkan hasil seleksi diketahui nilai minimal yang diterima di Fakultas MIPA Unesa berkisar di angka 85.
Sebelumnya, Ketua Umum SNMPTN Haris Supratno mengatakan, total disediakan beasiswa Rp 5 miliar bagi 15.501 mahasiswa dari keluarga tidak mampu atau miskin. Setiap mahasiswa akan mendapat beasiswa semester pertama Rp 2,5 juta. Namun dari 15.501 formulir yang disebar ke 5167 SMA, formulir yang kembali ke peserta hanya 3.599. Sementara yang lulus seleksi beasiswa masuk universitas (BMU) sebanyak 3.403 peserta. Target BMU ternyata menyusut lagi karena yang mendaftar SNMPTN hanya 2.690 peserta dan yang mengikuti tes sekitar 2.421 peserta. tok/rif
http://www.republika.co.id/berita/67264/Sistem_Presentil_Perbaiki_Kredibilitas_Guru
Selasa, 04 Agustus 2009
Pendidikan Gratis Mendidik atau Memanjakan

Pewarta-Indonesia, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendidikan telah mencanangkan Pendidikan Gratis bagi sekolah negeri khususnya di tingkat SD (Sekolah Dasar), hal ini merupakan fenomena yang sangat penting untuk dicermati. Pendidikan gratis tentu sangat membantu dan meringankan beban bagi keluarga miskin yang ingin bersekolah tetapi terkendala oleh dana, tetapi dari fenomena yang kita lihat, bahwa pendidikan gratis bukanlah jalan yang terbaik kalau ditinjau dari segi kecerdasan si anak.
Banyak orang tua siswa menganggap bahwa pendidikan Sekolah Dasar bukanlah suatu hal yang keharusan lagi atau dasar untuk perkembangan ilmu yang akan dilanjutkan ke depannya, karena mereka menganggap bahwa pendidikan gratis adalah hal yang menyenangkan sehingga para orang tua siswa tidak terlalu memfokuskan anaknya untuk sekolah dan tidak mendorong anaknya supaya pintar, bagaimana tidak pendidikan kan gratis, jadi kapan aja bisa sekolah/masuk jadi tidak perlu takut dipecat dari sekolah karena dimana aja bisa mendaftar gratis pula.
Hal ini sangatlah ironis karena pendidikan sekarang ini bukanlah untuk menciptakan orang-orang yang berilmu tinggi tetapi diterapkan pada sistem gratis. Karena pendidikan gratis, maka setiap siswa tidak lagi gigih dalam menuntut ilmu melainkan berleha-leha karena kalaupun dipecat bisa masuk ke sekolah negeri manapun dengan biaya gratis. Apakah pemerintah mengharapkan kwalitas pendidikan seperti ini...?
Kalau saja Pemerintah memberikan sekolah gratis bagis siswa yang berprestasi minimal peringkat 10 besar, maka semua siswa khususnya yang tidak mampu akan berlomba-lomba untuk belajar dan pintar demi mendapatkan beasiswa tersebut yang notabene karena ketidakmampuan ekonomi keluarga. Hal ini mungkin sangat baik dan mendidik baik bagi orang tua siswa maupun siswa yang bersangkutan. Dari kejadian ini maka dapat dipastikan program pemerintah yang membuat pendidikan gratis adalah tidak mendidik sama sekali tetapi pemerintah hanya mengharapkan bahwa rakyat Indonesia dapat menyelesaikan pendidikan sampai dengan SLTA dengan tidak memiliki ilmu.
Apakah ini yang kita harapkan dari pemerintah buat rakyatnya....?
Sumber image: google.co.uk
http://pewarta-indonesia.com/nspirasi/Opini/pendidikan-gratis-mendidik-atau-memanjakan.html
Sabtu, 01 Agustus 2009
Dipaksa Beli Komputer, Kepala Sekolah Takut Menolak
TEMPO Interaktif, Tegal - Era komputer di Tegal, Jawa Tengah, tampaknya belum dapat segera diwujudkan. Sebab, sejumlah Kepala Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Tegal mengaku tak sanggp membeli perangkat itu, walau dipaksa oleh Dewan Pendidikan setempat.
 
"Kepala sekolah mengeluhkan soal paksaan Dewan Pendidikan yang mewajibkan (sekolah) membeli perangkat komputer senilai Rp 5 juta dari dana alokasi khusus (DAK)," ujar Suherman saat ditemui di kantornya kemarin.
Menurut Suherman, langkah Dewan Pendidikan itu dinilai menyalahi perannya sebagai pengontrol penyelenggaraan pendidikan di daerah. Ia juga menyayangkan langkah Dewan Pendidikan karena mempengaruhi kepala sekolah untuk membeli komputer dengan anggaran yang tak sesuai dengan alokasi yang semestinya. "DAK hanya untuk pembangunan perbaikan gedung sekolah. Kepala sekolah takut menolak," Suherman menambahkan.
Ia berencana membahas temuan itu dalam rapat Komisi D yang kemudian akan dilanjutkan pada permintaan klarifikasi kepada Dewan Pendidikan.
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal Dimyati membantah isi tudingan itu. Ia justru mempertanyakan aduan yang dinilai fitnah. "Saya merasa tidak pernah melakukan seperti yang diadukan itu," ujar Dimyati.
Menurut dia, sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal, dirinya tak berani menjalani bisnis yang berhubungan dengan kebutuhan sekolah. Hal ini untuk menjaga independensi lembaga yang ia pimpin. "Draf penggunaan DAK hanya untuk rehabilitasi gedung sekolah. Jadi ngawur kalau saya dituduh menghasut agar sekolah membeli komputer," ujar Dimyati dengan nada geram.
http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2009/07/30/brk,20090730-189764,id.html
Sekolah di Garut Jual Paksa Buku Pelajaran
Jum'at, 31 Juli 2009 | 16:25 WIB
   TEMPO Interaktif, Garut -  Sejumlah orang tua siswa di Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengeluhkan penjualan buku yang dilakukan pihak sekolah. Padahal pemerintah telah menganggarkan buku pelajaran dalam bantuan operasional siswa. "Anak saya yang baru kelas tiga harus membeli buku seharga Rp 300 ribu," ujar Tatang, 36 tahun orang tua siswa di sekolah dasar negeri Kiansantang, Garut.
Menurutnya, buku itu langsung diberikan kepada setiap siswa, tanpa melalui persetujuan orang tua terlebih dahulu. Sehingga dengan terpaksa para orang tua harus membayar buku yang dibawa anaknya tersebut. Bila tidak, para orang tua takut anaknya mendapat intimidasi dari gurunya dan dikucilkan di lingkungan sekolah.
Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut, Bunyamin Lc, menyatakan pihaknya pun kerap menerima pengaduan masyarakat tentang penjualan paksa buku ditingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Oleh karena itu pihaknya akan segera membentuk tim untuk menelusuri kebenarannya. "Bila benar terjadi, itu melanggar aturan wajar dikdas sembilan tahun. Kami akan memanggil dinas pendidikan untuk mempetanggungjawabkannya," ujarnya di ruang rapat paripurna DPRD Kabupaten Garut, Jumat (31/7) kepada Tempo.
Ditempat yang sama, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, Komar Mariuna, membantah tudingan yang dilayangkan dewan dan orang tua siswa itu. Menurutnya, setiap sekolah telah diberikan inventaris buku pelajaran yang diujikan, diantaranya buku ilmu pengetahuan alam, bahasa dan buku pelajaran matematika. "Saya akan pecat bila ada guru yang menjual buku di sekolah," ujarnya.
Dia menambahkan, guru hanya diperbolehkan untuk menginformasikan kepada siswa buku yang akan digunakan dalam proses belajar mengajarnya. Namun untuk pembeliannya diserahkan sepenuhnya kepada siswa. "Kalau orang tua mau anaknya pintar, pasti akan membeli buku referensi buat anaknya itu. Belinya bebas dimana saja," ujarnya.
http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2009/07/31/brk,20090731-190109,id.html
Orang Tua Murid Protes Kewajiban Beli Buku Paket
CIMAHI -- Sebagian orang tua siswa SDN Cibabat Mandiri V Kota Cimahi protes,  karena diwajibkan membeli buku paket di sebuah toko buku yang telah ditunjuk  oleh pihak sekolah. Orang tua murid di SDN Cibabat Mandiri V, diwajibkan membeli  buku paket di luar oleh sekolah," kata salah satu orang tua murid, Ani (39),  yang ditemui usai menjemput anaknya, di Jalan Pesantren No.86 Kota Cimahi, Kamis  (30/7).
Ia menyatakan, buku yang wajib dibeli oleh orangtua murid ialah  buku paket pelajaran SD terbitan PT Empiris dan harus dibeli di sebuah toko buku  yang terletak di Perumahan Budi Asri Pesantren Kota Cimahi. "Bukunya harus dari  penerbit Empiris, tidak boleh dari penerbit lain dan harus dibeli di toko buku  itu (Perumahan Budi Asri Pesantren)," kata Ani.
Menurut Ani, orang tua  siswa tidak boleh meminjam buku paket tersebut kepada orang tua siswa lainnya di  SDN Cibabat Mandiri V. "Tidak boleh pinjam, karena nilai, materi pelajaran dan  tugas sekolah ada di buku paket yang diwajibkan sekolah,"  katanya.
Dikatakannya, harga buku yang ditawarkan toko buku rujukan SDN  Cibabat Mandiri V, jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga buku di toko buku  lainnya. Ani mencontohkan, harga buku mata pelajaran PKn terbitan PT Empiris di  toko buku rujukan SDN Cibabat Mandiri V ialah Rp30.000.
Akan tetapi,  harga buku PKn terbitan PT Empiris jauh lebih murah jika dibeli di toko buku  lainnya. "Saya pernah cek ke toko buku lain, harga buku PKn di toko buku lainnya  hanya Rp21.000," katanya.
Hal sama juga diutarakan orang tua murid SDN  Cibabat Mandiri V, Oneng (31). "Anak saya kembar, keduanya baru masuk SD, ini.  Sekarang diwajibkan membeli buku paket oleh sekolah," kata Oneng yang  bersuamikan seorang buruh bangunan.
Oneng mengaku keberatan dengan  kebijakan pihak sekolah yang mewajibkan membeli buku paket di toko buku yang  sudah ditunjuk sebelumnya. "Keberatan sekali, buat apa ada BOS kalau kita masih  disuruh beli buku pelajaran, katanya sekolah gratis," kata Oneng. ant/taq
http://www.republika.co.id/berita/65882/Orang_Tua_Murid_Protes_Kewajiban_Beli_Buku_Paket
Teladan Bangsa yang Terpinggirkan
JAKARTA, KOMPAS.com — Di depan kelas kau berusaha tersenyum manis/Namun, di dalam hati kau menangis Aku tak punya apa-apa anakku/Selain buku dan sedikit ilmu Jika kalian libur dan datang ke rumahku, jangan takut anakku. Genteng yang bocor itu/Gelas yang tak berisi air itu/Piring yang tak berisi nasi Kalian akan bercerita tentang aku/Tentang potret kehidupanku sebagai guru.
Penggalan puisi ini adalah ungkapan hati Atrianil (46), salah seorang guru honorer yang bertugas di tiga sekolah berbeda di Jakarta dan Tangerang, Banten. Puisi ini pernah dibaca Ruminah (36), guru honorer lainnya, dan membuat matanya sembab. Isi puisi ini mewakili perasaannya pula.
Puisi-puisi itu adalah jeritan hati, keluh kesahnya. Ketika tidak tahu harus ke mana lagi mengadu, ia pun memilih menulis.
”Menjadi kritis adalah hal yang tabu bagi seorang guru honorer murni. Kalau sudah tidak disukai karena banyak ngomong, ya bahaya. Pemberhentian sepihak, tanpa ada surat peringatan, jadi hal biasa,” ucap guru Akuntansi di Jakarta ini.
Guru honorer di sekolah swasta seperti dirinya menempati strata terendah dalam struktur tenaga kependidikan saat ini. Mereka bekerja dengan hitungan per jam, layaknya buruh kasar. Tidak ada jaminan hari tua dan jaminan kesehatan.
Dalam seminggu, ia mengajar 63 jam di tiga sekolah berbeda, melampaui batas yang diatur undang-undang, 24 jam per minggu. Honornya? Total Rp 900.000 per bulan dari tiga SMK kelas bawah.
Sebelum umur 40, guru yang tinggal di Cipondoh, Tangerang, ini mengajar hingga 80 jam per minggu. Ia pun sanggup mengajar hingga malam hari.
"Sekarang sudah dikurangi. Tidak dibolehkan sama anak-anak,” ucap guru yang biasa disapa Atri ini.
Ia hidup sehemat mungkin. Pernah suatu ketika, karena nekat berangkat mengajar meskipun sedang sakit, ia jatuh terpeleset di jalan dan pelipisnya luka. Karena tidak punya uang, ia terpaksa menutup lukanya dengan oli yang diberikan sopir bus untuk menghentikan pendarahan.
Kini, lebih dari 23 tahun mengajar—20 tahun merantau di Jakarta—tidak ada perubahan nasib yang dialaminya. Anak tertuanya sudah dua tahun menganggur seusai lulus SMA, sengaja tidak ikut ujian seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
”Takut sakit hati. Kalau diterima, tetapi tidak bisa bayar kuliah,” ucapnya mengutip pernyataan putranya, Yoka Perdana Putra.
Untuk biaya SPP putra keduanya, Rp 250.000 per bulan, ia sudah kerepotan. Guna menutupi berbagai kebutuhan hidup, ia mengaku masih mendapat kiriman uang bantuan dari keluarga.
Garuda Pancasila
Cerita-cerita ini dituangkannya dalam cerpen berjudul ”Ketegaran yang Dipaksakan”. Di matanya, profesi guru terkotak-kotak.
”Tidak seperti semboyan burung Garuda Pancasila. Satu profesi, tetapi kami, kan, berbeda-beda nasib dan perjuangannya,” ujar guru yang tengah mengikuti sertifikasi guru melalui portofolio ini sebagai upaya perbaikan nasibnya.
Perasaan terdiskriminasi secara sistemik juga dirasakan Ali Imran (45), guru bantu yang tinggal di Kalimalang, Jakarta Timur. Dia sangat berharap bisa menjadi guru pegawai negeri sipil di DKI Jakarta yang penghasilan sebulannya bisa di atas Rp 5 juta.
”Namun yang diprioritaskan guru PTT (pegawai tidak tetap). Mudah-mudahan kami berikutnya,” ucapnya.
Gali lubang tutup lubang. Itulah semboyan hidupnya. Hampir setiap bulan ia berutang. Honornya mengajar Rp 710.000 per bulan. Ditambah tunjangan jabatan sebagai wakil kepala sekolah, ia membawa pulang Rp 1,3 juta. Ia menanggung hidup lima orang di keluarganya.
Tukang Ojek
Nasib Guru Bantu Daerah Terpencil (GBDT) tidak jauh berbeda. Iwan Nugraha (27), GBDT asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terpaksa menyambi sebagai tukang ojek.
”Untuk menambah-nambah uang transpor. Sekalian berangkat mengajar, dapat tumpangan,” ujar guru yang tiap hari bolak-balik Indramayu-Cirebon untuk mengajar ini.
Ada lagi GBDT yang merangkap menjadi tukang cukur, penjual bubur ayam, hingga juru masak. Dengan penghasilan Rp 750.000 per bulan, bertugas di daerah terpencil, sulit untuk menyalahkan mereka kenapa harus bekerja sambilan.
Ketua Forum Guru Honorer Indonesia Supriyono mengungkapkan, perlu aturan tegas soal perlindungan kesejahteraan guru-guru honorer. Salah satunya memberlakukan upah minimum pendidik.
”Sekolah punya gedung mewah, tetapi gurunya tidak ada, ya tidak bisa belajar. Tetapi meski tempatnya di kuburan, asalkan ada guru, proses belajar bisa tercipta,” ungkap guru di Jakarta ini.
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Suparman mengatakan, nasib guru-guru honorer tidak lebih baik daripada buruh. Para guru honorer kini menaruh harapan pada Rancangan PP tentang Guru Non-PNS yang tengah disusun pemerintah. Disebut-sebut bakal ada pengaturan tentang upah minimum guru. Jumlah guru honorer kini 922.308 orang dan tersebar di sejumlah daerah.
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/06/23/15203781/teladan.bangsa.yang.terpinggirkan
Andi dan Perjuangan Nasib Guru Honor

PALEMBANG, KOMPAS.com - Pemerintahan di Indonesia terus berganti, tetapi nasib guru tetap saja masih terpuruk. Para guru memilih bergerak sendiri dengan membentuk organisasi untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan guru, terutama guru honor.
Salah satunya adalah Andi Semanto (36), seorang guru SMP Negeri 21, Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Andi adalah salah satu pendiri Lembaga Pemerhati Pendidikan (LP2) Sumsel, yaitu sebuah lembaga yang didirikan pada 2007 oleh para guru honor karena rasa prihatin terhadap dunia pendidikan. Jumlah guru honor di Sumsel saat ini sekitar 3.800 orang.
Menurut Andi, bangsa Indonesia tidak akan maju selama tidak memerhatikan masalah pendidikan. Negara seperti Jepang bisa maju karena lebih mengutamakan masalah pendidikan dibandingkan masalah lain.
”Guru yang dihasilkan di Indonesia adalah guru asal cetak dan tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan. Akibatnya, guru tidak fokus dalam mengajar,” kata pria yang lahir di Lahat, 20 Mei 1973, itu.
Andi pun mengalami betapa pahitnya nasib guru, terutama nasib guru honor. Andi yang merupakan alumni Universitas Muhammadiyah Palembang Jurusan FKIP Bahasa Indonesia itu masih berstatus guru honor meskipun sudah mengabdikan diri sebagai guru selama 10 tahun.
Penghasilan sebagai guru honor di Palembang sangat kecil. Andi mengaku mendapat honor 200 ribu per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Andi membuka warung di rumah dan setiap sore setelah selesai mengajar menjadi sopir angkot.
”Saya punya satu angkot hasil menabung sejak mahasiswa. Daripada uang tabungan saya pakai untuk menyuap agar diangkat jadi PNS, lebih baik uang tabungan itu saya pakai untuk modal membeli angkot,” kata Andi. Penghasilan sebagai sopir angkot mencapai Rp50.000 sampai Rp100.000 per hari.
Menurut ayah dari Ahmad Mammduh Naayif (6) dan Alia Fatimah Azahra (4) itu, pengangkatan guru honor menjadi guru PNS merupakan masalah yang dibidik oleh LP2 Sumsel. Pengangkatan guru honor sering tidak transparan. Biasanya guru honor yang diangkat memiliki kedekatan dengan pejabat di bidang pendidikan.
Andi menuturkan, pengangkatan guru honor selalu bermasalah karena sistemnya tidak benar. Kalau pemerintah punya niat baik terhadap dunia pendidikan, seharusnya pemerintah memberikan perhatian kepada guru honor.
Menurut suami dari Septa (35) itu, pengangkatan guru honor menjadi PNS harus berdasarkan prestasi. Andi berharap program sekolah gratis yang digagas oleh Gubernur Sumsel Alex Noerdin juga memberikan kesejahteraan kepada para guru honor.
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/06/08/12201324/andi.dan.perjuangan.nasib.guru.honor
